Tano Rambe atau Tanah Rambe didirikan oleh Alang Pardosi, bermarga Pohan,
dari Balige sebagai bagian dari tanah Baru yang dibukannya di bagian
Barat arah Pesisir Sumatera Utara. Raja Alang Pardosi membuka kawasan
tersebut setelah memutuskan untuk hijrah dari Balige akibat friksi
keluarga.
Salah satu anaknya kemudian diketahui membuka
wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Lobu Tua. Sebuah bandar yang
dihuni oleh kebanyakan saudagar asing khususnya dari Tamil , India .
Rambe sendiri diyakini berasal dari sebuah
buah tumbuhan yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Buah Rambe
tersebut dimakan oleh istri seorang pendatang dari Dolok Sanggul yang
telah lama belum mempunyai anak. Ajaibnya, setelah mengkonsumsi buah
tersebut ternyata memebri kesuburan baginya sehingga pendatang tersebut
memutuskan untuk menetap di wilayah tersebut dan menamakannya menjadi
Tanah Rambe.
Keberadaan mereka yang sebelumnya tidak
disadari oleh pengusa setempat, Raja Alang Pardosi, akhirnya berakhir
saat Raja Alang Pardosi mewajibkan beberapa ketentuan pajak ‘adat’
kepada yang bersangkutan.
Pendatang tersebuta yang bernama Si Namora dari marga Simamora
akhirnya harus patuh dengan ketentuan tersebut bila mana dia masih
berkeinginan untuk menetap di tempat tersebut. Beberapa lama berselang,
saat daerah tersebut berkembang menjadi pemukiman yang ramai dan banyak
dikunjungi orang, terjadilah friksi antara keluarga pendatanag Si Namora
dengan anak-anaknya, di antaranya bernama Si Purba dengan keluarga penguasa, yakni Alang Pardosi.
Takdir kemudian mengharuskan kedua keluarga
ini untuk bersatu saat putera-putera Si Namora menikah dengan
putri-putri Raja Alang Pardosi. Ternyata hal tersebut tidak dapat
menahan gelombang realitas kehidupan antara keduanya, sehingga
beberapa kali Si Purba yang sekarang masuk dalam lingkaran penguasa di
daerah tersebut, mengkudeta sang mertua dan bahkan mengusirnya dari
kursi kerajaan. Namun beberapa kali pula Raja Alang Pardosi dapat
memulihkan kekuasaannya.
Kapan berdirinya Tanah Rambe
Sulit untuk memprediksi tahun berdirinya
Tanah Rambe tersebut. Namun bila kita mengambil sebuah perbandingan
bahwa Barus didirikan oleh keturunan anak Raja Alang Pardosi melalui Guru
Marsakkot, dan Barus telah eksis dan terdengar namanya sebelum abad
ke-2 M saat Ptolemeus dari Mesir berkunjung untuk urusan dagang maka
Tanah Rambe mungkin saja telah eksis sebelum tahun-tahun Masehi.
Selain bukti kuat dari dokumentasi perjalanan
Ptolemeus tersebut di Tanah Rambe masih terdapat beberapa situs-situs
kuno, yang nampaknya belum pernah dieksplorasi, seperti situs Istana Raja Alang Pardosi di Gotting, Tukka.
Juga terdapat perkuburan kuno dan patung-patung yang terbuat dari batu
dari zaman megalitikum yang sudah tidak dimengerti oleh penduduk
setempat mengapa dan apa makna patung tersebut, dan sayangnya,
terbengkalai dan menjadi sasaran incaran para bandit-bandit kolektor
yang akan menjualnya ke toke-toke Cina di Medan.
Bandit-bandit tersebut sejak tahun 1995,
dengan menggunakan tangan penduduk setempat, berkeliaran di
tempat-tempat bersejarah dan mencurinya tanpa sepengatahuan penduduk,
yang saban tahun sering menjadikannya sebagai taman wisata tradisional,
atau setidaknya tanpa sepengetahuan si pemilik tanah.
Pencurian itu diyakini melanda ratusan
patung-patung megalitikum yang diyakini penduduk masih menyimpan
kekuatan gaib. Tahun 2005, sebuah pencurian patung megalitikum dari
sebuah situs berhasil digagalkan penduduk, namun sayang patungnya
berhasil dibawa kabur dan dijual dengan harga ratusan juta rupiah.
Untuk sekedar informasi, pencurian
patung-patung bernilai tinggi dari zaman kuno, bukan saja melanda Tanah
Rambe tapi juga di Dairi. Namun, usaha pencurian di Dairi berhasil
dihentikan setelah sebuah harian daerah memberitakan tertangkapnya
beberapa orang Siantar yang berkeliaran di Dairi memburu patung-patung
yang dijual ke Eropa dengan harga 150-an juta perbuah.
Persimpangan Peradaban
Tanah Rambe sejak berdirinya merupakan daerah
yang bersifat urban karena letak geografisnya yang berda dalam
persimpangan jalan tradisional. Satu arah jalan menuju ke Toba, satu
lagi ke Singkil dan yang terakhir ke Barus.
Di Gotting, Tukka, tempat istana Raja Alang Pardosi mendirikan istananya, merupakan persimpangan dua aliran air yang akhirnya membentuk dua sungai yaitu Aek Sisira yang mengarah ke Singkil dan yang satu lagi bernama Aek Sirahar mengarah ke Barus.
Dengan mengikuti aliran singai-sungai tersebut para saudagar dari Toba
dan Dairi serta sebaliknya dapat menjual produksi pertanian ke daerah
pesisir yang menjadi pusat perekonomian regional yakni Singkil dan Barus.
Dairi sebagai pusat produksi kemenyan dan
kapur merupakan daerah kaya yang selalu membutuhkan Tanah Rambe sebagai
persinggahan. Orang-orang Barus juga sangat membutuhkan Tanah Rambe
sebagai persinggahan menuju Toba yang menjadi pusat leluhur mereka.
Bahkan diyakini Tanah Rambe dengan nama Pakkat juga menjadi tempat persinggahan bagi pembeli-pembeli logam mulia, emas dari pusat tambangnya di Dolok Pinapan sejak dahulu kala.
Maka wajarlah bila masayarakat Rambe sangat
plural dan berpikiran terbuka dengan pengaruh dan perubahan zaman.
Setiap individu masyarakat di tempat ini bahkan menguasai dua bahasa
sekaligus yang jarang terjadi di Tanah Batak, yakni bahasa Batak Toba dan Dairi. Bahkan menurut cerita, para orang-orang tua setempat juga dapat berbahasa Melayu Pesisir, Karo dan Singkil.
Akibat lain dari letak yang strategis ini
adalah, karakteristik majemuk yang selalu dimiliki oleh masyarakat
khususnya dalam hal adat. Dengan terdapatnya berbagai jenis masyarakat
maka adat yang dipakai sering kali menjadi campuran dari adat-adat yang
baku, seperti Dairi, Aceh Singkil, Toba dan juga Barus yang telah banyak
dipengaruhi oleh adat Minang.
Pluralisme adat tersebut melahirnya sebuah
bentuk masyarakat yang sangat terbuka dengan kebudayaan dan peradaban
asing. Salah satu buktinya adalah perkuburan Cina kuno yang masih terdapat di Panigoran, sebuah pusat pemakaman setempat, di mana kuburan orang-orang Cina menyatu dengan kuburan orang-orang setempat.
Walau orang-orang Cina sudah tidak ada lagi
di tempat ini baik itu karena banyak dari mereka telah pindah ke
kota-kota lain di Indonesia yang kaya maupun karena orang-orang Cina
tersebut telah hilang akibat berasimilasi dengan penduduk dengan memakai
marga dan telah lupa dengan bahasa nenek moyangnya, namun kemajemukan
tersebut masih terasa sampai sekarang.
Tanah Rambe sendiri, walau dibuka pertama
sekali oleh marga Pohan (atau Pardosi) sekarang kebanyakan dihuni oleh
marga Purba dan Simamora, karena paska perdamaian dengan Raja Alang
Pardosi, Raja Purba diijinkan menetap di Tanah Rambe karena mempunyai
istri boru Pardosi Pohan. Orang-orang Pardosi, sebagai pembuka tanah
masih terdapat di Tanah Rambe dengan jumlah yang sedikit.
Di wilayah sekitar Tanah Rambe terdapat beberapa huta yang dihuni oleh marga-marga yang berbeda seperti Siniang-Laksa oleh marga Marbun, Huta Ambasang oleh marga Manalu dan lain sebagainya.
Tanah Rambe-Sebuah Situs Yang Belum Terjamah
Yang paling mengherankan dari Tanah Rambe ini
adalah kekunoannya yang belum banyak terjamah oleh pakar-pakar arkeolog
Indonesia . Padahal dengan kekayaan sejarah dan letaknya yang strategis
dapat dipastikan bahwa di bawah perut bumi Tanah Rambe tersimpan
benda-benda arkeologi yang sangat berharga. Dalam penelusuran penulis,
banyak benda-benda pusaka yang dimiliki oleh masyarakat yang berasal
dari nenek moyang masing-masing yang berbentuk ‘sangat aneh’ untuk ukuran setempat.
Misalnya anting-anting kuno,
perhiasan-perhiasan yang bentuknya sangat artistik dan bentuknya aneh,
pedang, pustaha laklak yang nampaknya tidak terurus oleh genarasi
sekarang yang tidak berminat. Selain patung-patung megalitikum yang
terbiarkan dan tak terurus karena penduduk tidak tahu siapa yang
membangun dan apa fungsinya, di Tanah Rambe juga terdapat hunian-hunian
lama atau huta-huta kuno yang sudah tidak berpenduduk lagi.
Sesekali, apabila petani mencoba menanaminya
sering sekali menemukan benda-benda aneh yang sering kali menimbulkan
kecurigaan mengenai keangkeran tempat tersebut. Padahal mungkin saja
benda yang ditemukannya tersebut adalah benda arkeologi yang sangat
mahal dan tempat tersebut merupakan hunian kuno orang-orang lama.
Karena letaknya yang strategis dan tempat
persinggahan para pengelana, sudah barang tentu di sekitar jalan-jalan
menuju tanah Rambe, sering sekali ditemukan benda-benda dalam bentuk
batu dan logam yang diduga sebagai tempat persinggahan para pengelana
dari kelelahan.
Argumentasi lainnya yang mendukung fakta-fakta kekayaan sejarah tersebut adalah terdapatnya seorang
tokoh sejarah di Tukka yang sangat berpengaruh dalam sejarah peradaban
Batak secara keseluruhan. Di antaranya adalah Raja Tuktung Pardosi, cucu
dari Raja Alang Pardosi.
Kemasyhuran Raja Tuktung, seperti yang dicatat di “Hikayat Raja Tuktung”
itu diyakini sebagai cerminan dari tingginya peradaban Batak di
zamannya yang sudah barang tentu meninggalkan jejak-jejak sejarah yang
mengagumkan. Setinggi apakah dan secanggih apakah kebudayaan saat itu
belum pernah digali oleh para penikmat-penikmat sejarah Indonesia yang
sangat kaya itu.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking