Vrydag 12 April 2013
SEJARAH MARGA BATAK - TAROMBO NI HALAK BATAK
SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu :
GURU TATEA BULAN
RAJA ISOMBAON
TATEA BULAN artinya "TERTAYANG BULAN" = "TERTATANG BULAN".
RAJA ISOMBAON (RAJA ISUMBAON) RAJA ISOMBAON artinya RAJA YANG DISEMBAH. Isombaon kata dasarnya somba (sembah).
Semua keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas 2 golongan besar:
1. Golongan Tatea Bulan Sama artinya dengan “Golongan Bulan” atau “Golongan (Pemberi) Perempuan”. Disebut juga golongan Hula-hula sama dengan Marga Lontung.
2. Golongan Isombaon Sama artinya dengan “Golongan Matahari” atau “Golongan Laki-laki”. Disebut juga Golongan Boru sama dengan Marga Sumba.
Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera Si Singamangaraja, dan para orangtua dahulu menyebut Sisingamangaraja artinya Maha Raja), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan Si Raja Batak.
1. GURU TATEA BULAN
Dari istri Guru Tatea Bulan yang bernama Si Boru Baso Burning memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :
Putra (sesuai urutan):
Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, raja Sigumeleng-geleng), tanpa keturunan.
Tuan Sariburaja (keturunannya Pasaribu).
Limbong Mulana (keturunannya Limbong).
Sagala Raja (keturunannya Sagala).
Silau Raja (keturunannnya Malau, Manik, Ambarita dan Gurning).
Putri:
Si Boru Pareme (kawin dengan Tuan Sariburaja, ibotona).
Si Boru Anting Sabungan (kawin dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon).
Si Boru Biding Laut, (juga kawin dengan Tuan Sorimangaraja yang diyakini sebagai Nyi Roro Kidul).
Si Boru Nan Tinjo (tidak kawin).
1.1. Raja Uti
Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng). Raja Uti terkenal sakti dan serba bisa. Satu kesempatan berada berbaur dengan laki-laki, pada kesempatan lain membaur dengan perempuan, orang tua atau anak-anak. Beliau memiliki ilmu yang cukup tinggi, namun secara fisik tidak sempurna. Karena itu, dalam memimpin Tanah Batak, secara kemanusiaan Beliau memandatkan atau bersepakat dengan ponakannya/Bere Sisimangaraja, namun dalam kekuatan spiritual tetap berpusat pada Raja Uti.
1.2. Tuan Sariburaja
Sariburaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis, satu peremuan satunya lagi laki-laki).
Mula-mula Sariburaja kawin dengan Nai Margiring Laut, yang melahirkan putra bernama Raja Iborboron (Borbor). kemudian Saribu Raja mengawini adiknya Si Boru Pareme, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest.
Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Silau Raja, maka ketiga saudara tersebut sepakat untuk mengusir Sariburaja. Akibatnya Sariburaja mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan Si Boru Pareme yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, tetapi di hutan tersebut Sariburaja kebetulan bertemu dengan dia.
Sariburaja datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi “istrinya” di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan Si Boru Pareme di dalam hutan.
Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang diberi nama Si Raja Lontung. Dari istrinya sang harimau, Sariburaja memperoleh seorang putra yang diberi nama Si Raja Babiat. Di kemudian hari Si Raja Babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing, Mereka bermarga Bayoangin. Karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya, Sariburaja berkelana ke daeerah Angkola dan seterusnya ke Barus.
1.2.1. Si Raja Lontung
Putra pertama dari Tuan Sariburaja Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri yaitu:
Putra:
1. Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.
2. Sinaga Raja, keturunannya bermarga Sinaga.
3. Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.
4. Toga Nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.
5. Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.
6. Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.
7. Siregar, keturunannya bermarga Siregar.
Putri :
1. Si Boru Anakpandan, kawin dengan Toga Sihombing.
2. Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.
Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing Simamora. (Si sia Marina artinnya Sembilan Satu Ibu).
1.2.1.1. Tuan Situmorang
Keturunan Tuan Situmorang lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.
1.2.1.2. Sinaga Raja
Keturunan Sinaga lahir marga-marga cabang Simanjorang, Simandalahi, Barutu.
1.2.1.3. Pandiangan
Keturunan PANDIANGAN Lahir marga-marga cabang Samosir, Pakpahan, Gultom, Sidari, Sitinjak, Harianja.
1.2.1.4. Toga Nainggolan
Keturunan NAINGGOLAN Lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Lumban Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.
1.2.1.5. Simatupang
Keturunan SIMATUPANG Lahir marga-marga cabang Togatorop (Sitogatorop), Sianturi, Siburian.
1.2.1.6. Aritonang
Keturunan ARITONANG Lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare.
1.2.1.7. Siregar
Keturunan SIREGAR Llahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.
1.2.2. Si Raja Borbor
Putra kedua dari Tuan Sariburaja, dilahirkan oleh Nai Margiring Laut. Semua keturunannya disebut Marga Borbor. Cucu Raja Borbor yang bernama Datu Taladibabana (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :
1.2.2.1. Datu Dalu (Sahangmaima)
Keturunan Datu Dalu melahirkan marga-marga berikut :
- Pasaribu, Batubara, Habeahan, Bondar, Gorat,
- Tinendang, Tangkar,
- Matondang,
- Saruksuk,
- Tarihoran,
- Parapat,
- Rangkuti.
1.2.2.2. Sipahutar keturunannya bermarga Sipahutar
1.2.2.3. Harahap keturunannya bermarga Harahap
1.2.2.4. Tanjung keturunannya bermarga Tanjung
1.2.2.5. Datu Pulungan keturunannya bermarga Pulungan
Keturunan Datu Pulungan melahirkan marga-marga :
- Lubis,
- Hutasuhut.
1.2.2.6. Simargolang keturunannya bermarga Imargolang
1.3. Limbong Mulana
Limbong Mulana adalah putra ketiga dari Guru Tatea Bulan, Keturunannya bermarga Limbong yang mempunyai dua orang putra, yaitu :
1. Palu Onggang, dan
2. Langgat Limbong.
Putra dari Langgat Limbong ada tiga orang yaitu :
1. Tetap memakai marga induk, yaitu Limbong,
2. Bermarga Sihole, dan
3. Bermarga Habeahan.
1.4. Sagala Raja
Putra keempat dari Guru Tatea Bulan. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga Sagala.
1.5. Silau Raja
Silau Raja adalah putra kelima dari Guru Tatea Bulan yang mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Malau,
2. Manik,
3. Ambarita dan
4. Gurning.
Khusus sejarah atau tarombo Ambarita Raja atau Ambarita, memiliki dua putra:
Ambarita Lumban Pea
Ambarita Lumban Pining
Lumban Pea memiliki dua anak laki-laki yaitu :
Ompu Mangomborlan
Ompu Bona Nihuta
Berhubung Ompu Mangomborlan tidak memiliki anak/keturunan laki-laki, maka Ambarita paling sulung hingga kini adalah turunan Ompu Bona Nihuta, yang memiliki anak laki-laki tunggal yakni Op Suhut Ni Huta. Op Suhut Nihuta juga memiliki anak laki-laki tunggal Op. Tondol Nihuta.
Keturunan Op Tondol Nihuta ada empat laki-laki:
Op. Martua Boni Raja (atau Op Mamontang Laut).
Op Raja Marihot.
Op Marhajang.
Op Rajani Umbul.
Selanjutnya di bawah ini hanya dapat meneruskan tarombo dari Op. Mamontang Laut (karena keterbatasan data. Op Mamontang Laut menyeberang dari Ambarita di Kabupaten Toba Samosir saat ini ke Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Hingga tahun 2008 ini, keturunan Op Mamontang laut sudah generasi kedelapan).
Op Mamontang Laut semula menikahi Boru Sinaga dari Parapat. Setelah sekian tahun berumah tangga, mereka tidak dikaruniai keturunan, lalu kemudian menikah lagi pada boru Sitio dari Simanindo Samosir. Dari perkawinan kedua, lahir tiga anak laki-laki yaitu : Op. Sohailoan menikahi Boru Sinaga bermukim di Sihaporas Aek Batu dan Op. Jaipul menikahi Boru Sinaga bermukin di Sihaporas Bolon.
2. RAJA ISOMBAON
2.1. Tuan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja adalah putra pertama dari Raja Isombaon. Dari ketiga putra Raja Isombaon dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang yaitu :
1. Si Boru Anting Malela (Nai Rasaon), putri dari Guru Tatea Bulan.
Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Djulu (Ompu Raja Nabolon), gelar Nai Ambaton.
2. Si Boru Biding Laut (nai ambaton), juga putri dari Guru Tatea Bulan.
Si Boru Biding Laut melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Jae (Raja Mangarerak), gelar Nai Rasaon.
3. Si Boru Sanggul Baomasan (nai suanon).
Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar Nai Suanon.
2.1.1. Nai Ambaton (Tuan Sorba Djulu/Ompu Raja Nabolon)
Nama (gelar) putra sulung Tuan Sorimangaraja lahir dari istri pertamanya yang bernama Nai Ambaton. Nama sebenarnya adalah Ompu Raja Nabolon, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga Nai Ambaton menurut nama ibu leluhurnya.
Nai Ambaton mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Simbolon Tua, keturunannya bermarga Simbolon, lahirlah marga :
- Tinambunan,
- Tumanggor,
- Maharaja,
- Turutan,
- Nahampun,
- Pinayungan,
- Juga marga-marga Berampu dan Pasi.
2. Tamba Tua, keturunannya bermarga Tamba, lahirlah marga :
- Siallagan,
- Tomok,
- Sidabutar,
- Sijabat,
- Gusar,
- Siadari,
- Sidabolak,
- Rumahorbo,
- Napitu.
3. Saragi Tua, keturunannya bermarga Saragi, lahirlah marga :
- Simalango,
- Saing,
- Simarmata,
- Nadeak,
- Sidabungke.
4. Munte Tua, keturunannya bermarga Munte (Munte, Nai Munte, atau Dalimunte), lahirlah marga :
- Sitanggang,
- Manihuruk,
- Sidauruk,
- Turnip,
- Sitio,
- Sigalingging.
“Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluih-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antarsesama marga keturunan Nai Ambaton”.
2.1.2. Nai Rasaon (Raja Mangarerak)
Nama (gelar) putra kedua dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri kedua tuan Sorimangaraja yang bernama “Nai Rasaon”.
“Nama sebenarnya ialah Raja Mangarerak, tetapi hingga sekarang semua keturunan Raja Mangarerak lebih sering dinamai orang Nai Rasaon”.
Raja Mangarerak atau Nai Rasaon mempunyai dua orang putra, yaitu Raja Mardopang dan Raja Mangatur. Ada empat marga pokok dari keturunan Raja Mangarerak:
1. Raja Mardopang
Menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga Sitorus, Sirait, dan Butar-butar.
2. Raja Mangatur
Menurut nama putranya, Toga Manurung, lahir marga Manurung. Marga pane adalah marga cabang dari sitorus.
2.1.3. Nai Suanon (Tuan Sorbadibanua)
Nama (gelar) putra ketiga dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Suanon.
“Nama sebenarnya ialah Tuan Sorbadibanua, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai Tuan Sorbadibanua”.
Tuan Sorbadibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra.
Dari istri pertama (putri Sariburaja):
1. Si Bagot Ni Pohan, keturunannya bermarga Pohan, melahirkan marga- marga cabang berikut:
1. Tampubolon, Barimbing, Silaen.
2. Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Nasution.
3. Panjaitan, Siagian, Silitonga, Sianipar, Pardosi.
4. Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede.
2. Si Paet Tua, melahirkan marga-marga cabang berikut :
1. Hutahaean, Hutajulu, Aruan.
2. Sibarani, Sibuea, Sarumpaet.
3. Pangaribuan, Hutapea.
3. Si Lahi Sabungan, keturunannya bermarga Silalahi, melahirkan marga-marga cabang berikut:
1. Sihaloho.
2. Situngkir, Sipangkar, Sipayung.
3. Sirumasondi, Rumasingap, Depari.
4. Sidabutar. Sinabutar (atas koreksian @Soeguest dan @Binsar Sitio)
5. Sidabariba, Solia.
6. Sidebang, Boliala.
7. Pintubatu, Sigiro.
8. Tambun (Tambunan), Doloksaribu, Sinurat, Naiborhu, Nadapdap, Pagaraji, Sunge, Baruara, Lumban Pea, Lumban Gaol.
4. Si Raja Oloan, melahirkan marga dan marga cabang berikut :
1. Naibaho, Ujung, Bintang, Manik, Angkat, Hutadiri, Sinamo, Capa.
2. Sihotang, Hasugian, Mataniari, Lingga.
3. Bangkara.
4. Sinambela, Dairi.
5. Sihite, Sileang.
6. Simanullang.
5. Si Raja Huta Lima, melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Maha.
2. Sambo.
3. Pardosi, Sembiring Meliala.
Dari istri kedua (Boru Sibasopaet, putri Mojopahit) :
1. Si Raja Sumba, melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Simamora, Rambe, Purba, Manalu, Debataraja, Girsang, Tambak, Siboro.
2. Sihombing, Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, Sitindaon, Binjori.
2. Si Raja Sobu, melahirkan marga dan marga cabang berikut:
Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutatoruan, Simorangkir, Hutapea, Lumban Tobing, Mismis.
3. Toga Naipospos, keturunannya bermarga Naipospos, melahirkan marga dan marga cabang berikut:
Marbun, Lumban Batu, Banjarnahor, Lumban Gaol, Meha, Mungkur, Saraan, Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Sihotang.
Keluarga Tuan Sorbadibanua bermukim di Lobu Parserahan – Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, Tuan Sorbadibanua menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata Si Raja huta lima terkena oleh lembing Si Raja Sobu. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh Tuan Sorbadibanua. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang tiga orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki Gunung Dolok Tolong sebelah barat.
Keturunana Tuan Sorbadibanua berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.
ASAL MULA NAMA-NAMA MARGA BATAK
Bukan bermaksud menyebar masalah SARA, tapi sekedar ingin berbagi.
Ternyata nama-nama saudara kita dari suku Batak itu ada sejarahnya. Mau
tahu...? Mau tahu...?
Ini dia ceritanya :
"Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?" tawar si Butet.
"Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil".
"Jangan begitulah. Masa' tidak Siahaan melihat bibir saya Sihombing begini? Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan ?"
"Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja" sahut sang mantri agak kesal.
"Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah".
Malamnya, ketika sedang asik-asiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di semak-semak dan tiba-tiba berbunyi "Poltak!" keras sekali.
"Ada Situmorang?" tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan.
Terdengar suara pelan, "Situmeang". "Sialan, cuma kucing..." desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen. Selesai berlatih, Butet-pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat. Keesokan harinya, Butet kembali ke Pandapotan silatnya. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: "Harahap tenang! Ada ujian.
"Wah telat, emang udah jam Silaban sih". Maka Siboru-boru dia masuk ke ruangan sambil menyanyi-nyanyi. Di-Tigor-lah dia sama gurunya "Butet, kau jangan ribut!, bikin kacau konsentrasi temanmu!"
Butet, dengan tanpa Malau-malau langsung Sijabat tangan gurunya, "Nggak Pakpahan guru, sekali-sekali?!".
Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejangan guru Pandapotan silatnya untuk selalu, "Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!"
Ini dia ceritanya :
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pendekar wanita, Butet
namanya. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian
Nasution. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke
gunung dan berlatih.
Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat. Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan gayanya yang Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.
Naibaho ikan gurame yang dibakar Sitanggang dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa diantaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.
Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar "Wow, Siregar sekali hawanya" katanya, berbeda dengan kampungnya yang Panggabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun.
Tampak di seberang, lautan dan ikan Lumban-lumban. Terbawa suasana,mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam Siringo-ringo yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja,yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiurma melambai kayak di pantai.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. "Sinaga!" teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.
Tabib tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan. "Hm, biayanya Pangaribuan" kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.
Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat. Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan gayanya yang Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.
Naibaho ikan gurame yang dibakar Sitanggang dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa diantaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.
Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar "Wow, Siregar sekali hawanya" katanya, berbeda dengan kampungnya yang Panggabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun.
Tampak di seberang, lautan dan ikan Lumban-lumban. Terbawa suasana,mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam Siringo-ringo yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja,yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiurma melambai kayak di pantai.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. "Sinaga!" teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.
Tabib tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan. "Hm, biayanya Pangaribuan" kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.
"Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?" tawar si Butet.
"Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil".
"Jangan begitulah. Masa' tidak Siahaan melihat bibir saya Sihombing begini? Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan ?"
"Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja" sahut sang mantri agak kesal.
"Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah".
Malamnya, ketika sedang asik-asiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di semak-semak dan tiba-tiba berbunyi "Poltak!" keras sekali.
"Ada Situmorang?" tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan.
Terdengar suara pelan, "Situmeang". "Sialan, cuma kucing..." desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen. Selesai berlatih, Butet-pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat. Keesokan harinya, Butet kembali ke Pandapotan silatnya. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: "Harahap tenang! Ada ujian.
"Wah telat, emang udah jam Silaban sih". Maka Siboru-boru dia masuk ke ruangan sambil menyanyi-nyanyi. Di-Tigor-lah dia sama gurunya "Butet, kau jangan ribut!, bikin kacau konsentrasi temanmu!"
Butet, dengan tanpa Malau-malau langsung Sijabat tangan gurunya, "Nggak Pakpahan guru, sekali-sekali?!".
Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejangan guru Pandapotan silatnya untuk selalu, "Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!"
Mengenang Tuan Sumerham Dan Jasa-jasanya Dalam Peradaban Batak
Mengenang Tuan Sumerham Dan Jasa-jasanya Dalam Peradaban Batak
OLEH : RAJA RAMBE
Minggu, 08 Juli 2007 23:32 WIB
Parsadaan Marga Rambe Akan Gelar Kongres Akbar
Saat ini, keturunan marga Rambe banyak tersebar ke berbagai pelosok Indonesia bahkan mancanegara, namun banyak yang tidak mengetahui asal muasal keturunannya. Untuk itu, guna mempersatukan dan meluruskan tentang sitambuk (silsilah) Marga Rambe, panitia Marga Rambe akan menyelenggarakan Kongres II Parsadaan Marga Rambe Dohot Boruna pada 12-14 Juli 2007 di Asrama Haji, Jl Jenderal Abdul Haris Nasution Medan.
Ketua Umum Parsadaan Marga Rambe, H. Mander Rambe pada temu persnya di Sekretariat Panitia Penyelenggara Kongres, Jl. Jend. Gatot Subroto No.102, Simpang Barat Medan menyebutkan, kongres marga Rambe dohot boruna II yang merupakan kongres akbar tersebut, akan dihadiri seluruh pengurus marga Rambe dohot boruna se Indonesia, baik yang berada di Jakarta, Jawa Barat Jawa Timur, Kalimantan, Papua dan kota-kota lainnya, bahkan dari mancanegara. Dia menyebutkan, kongres marga Rambe dohot boruna yang pertama dilaksanakan pada tahun 1956 di Huta Dolok Kecamatan Saipar Dolok Hole, Tapanuli Selatan, menghasilkan beberapa keputusan antara lain bahwa keturunan marga Rambe adalah satu, artinya tidak ada lagi Rambe dari keturunan lain. "Asal muasal Rambe berasal dari satu keturunan yaitu keturunan Tuan Sumerham Rambe yang ada di Pakat, Humbang Hasundutan," jelas H. Mander Rambe.
H. Mander menambahkan, selama ini belum ada kesepakatan dan tidak banyak yang tahu bahwa Baginda Raja Sojuangon Rambe di Tapanuli Selatan keturunan dari Tuan Sumerham Rambe di Pakat, Humbang Hasundutan. Sebagian marga Rambe menyatakan Baginda Raja Sojuangon Rambe bukan dari keturunan Tuan Sumerham Rambe dan sebagian menyatakan satu keturunan. "Untuk itu, di dalam kongres ini, kita akan meluruskan dan menyatukan kembali bahwa marga Rambe berasal dari satu keturunan Tuan Sumerham Rambe," tegasnya. Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana, Hamonangan Rambe, SH, MH menyebutkan, kongres akbar marga Rambe kedua ini sangat mendapat respon positif dari para peserta yang berasal dari satu marga Rambe dan menyatakan siap akan menghadiri acara tersebut. Diperkirakan kongres akbar tersebut akan dihadiri 10 ribu orang di seluruh dunia, baik di Indonesia maupun luar negeri seperti Malaysia, Pakistan, Belanda dan lainnya.
Hamonangan Rambe, SH, MH mengatakan, Kongres II Parsadaan Marga Rambe Dohot Boruna yang direncanakan akan dibuka Gubernur Sumatea Utara, diharapkan semua keturunan marga Rambe untuk bisa hadir mengikuti kongres tersebut dengan tujuan untuk menyatukan dan mempererat silaturrahmi sesama marga Rambe antara kahanggi mora dan anak boru yang berada di seluruh dunia serta bekerjasama saling bahu-membahu dalam membangun Tugu Parsadaan Marga Rambe di Makam Baginda Raja Sojuangon Rambe di Desa Aek Pisang, Kecamatan Aek Bilah, Tapanuli Selatan.
"Pada kongres pertama, sudah ada wacana pembangunan Tugu Marga Rambe di Aek Pisang, Kec. Aek BIlah, Tapsel yang dulunya kecamatan Saipar Dolok Hole, namun sampai sekarang tugu tersebut belum terpugar dengan sempurna," kata Monang didampingi Ketua Organizin Comite Ir. Rustam Efendi Rambe, Ketua Stringcomete Drs. H. Agus Sakti Rambe, MPd, Bendahara Abdul Wahid Rambe, SH dan beberapa pengurus lainnya.
Hamonangan menyebutkan, hal ini sangat penting mengingat keluarga besar marga Rambe yang semakin menyebar di berbagai kota di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke agar para perantau yang bermarga Rambe tetap ingat bona pasogit (tanah asal) dan teap merasa memiliki sekaligus mengingat leluhurnya. "Amanah yang diberikan marga sesepuh marga Rambe kepada panitia kongres ini, kita harapkan dapat menghasilkan keputusan yang dapat mempersatukan sekaligus dapat diwariskan kepada generasi marga Rambe yang akan datang. Dari berbagai sitambuk sudah kami kumpulkan untuk mencari dan meluruskan sitambuk tersebut serta akan kita libatkan para orangtua dari bona pasogit yang kita anggap mengetahui sejarah marga Rambe," ujar Hamonangan dan berharap agar tidak ada kesimpangsiuran lagi mengenai tarombo.
SIAPA TUAN SUMERHAM DAN BAGINDA SO JUANGON?
semakin lama rambe semakin menyebar ke
seluruh penjuru dunia. melihat penyebaran marga rambe, sudah seharusnya
keturunan Tuan Sumerham bangga untuk memakai Rambe sebagai marganya.
namun Rambe dari Tano Rambe, kurang berani memakai marganya rambe dalam
pergaulanya sehari-hari. Blog ini menginginkan keturunan Tuan Sumerham
yang masuk ke bolog ini, harus memakai marga rambe
SIAPA TUAN SUMERHAM DAN BAGINDA SO JUANGON?
Oleh : RAJA Rambe)
Dimulai dari Toga Sumba, mempunyai anak dua orang yaitu Toga Simamora dan Toga Sihombing.
Toga Simamora memperistri putrid dari kel luarga Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja Lottung.
Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan putrid dari keluarga Saribu Raja, bernama Tuan Sumerham, dan seorang putrid yang buta
Sedangkan Toga Sihombing mempunyai empat orang anak dari hasil perkawinannya dengan putrid keluarga Lottung
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan. Kemudian oleh Toga Simamora, mengawini kembali istri dari Toga Sihombing, lahir tiga orang anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini merupakan satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toha Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama tiga orang keturunan Toga Simamora kemudian, tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain. Tuan Sumerham memperistri putrid dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya boru Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hamper setiap hari diterima oleh opong boru kita boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondina”
Hal ini juga diselami oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppugn boru kita boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaanistri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya di suatu malam hari saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan kampungnya, Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,
1.Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang juga
diikat dengan emas, disembunyikan di Bonggar-bonggar
2.Tombak yang bermata emas, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah,
3.Pustaha (buku lak-lak)
4.Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak)
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan mereka tinggal di mana, sudah mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal.
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan boru Siregar) di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” dipelataran lobu tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon buah rambe, yang setiap saat berbuah dan setiap saat banyak buahnya yang sudah matang. Rasanya manis asam dan lebih terasa manisnya kalau sudah sempurna matangnya. Buah inilah yang menjadi makanan mereka sementara sebelum hasil tani mereka panen. Serta dilereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Ternyata buah rambe ini mempunyai khasiat untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri. Anak Pertama diberi nama Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham, dan sejak saat itu Rambe semakin banyak, dan tidak mungkin tinggal di suatu tempat yaitu Lobu Tondang.
(Sejarah pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi sejarah tersendiri dalam Tulisan ini)
Maka Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya. Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe. Hingga generasi ke-7 pemakaian marga Rambe masih eksis di Negeri Rambe, Pakkat.
Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera utara, adalah memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1.Nisan marga manik yang terdapat di Sijarango tertulis
“Op. Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2.Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tertulis “Aman Sampe Rambe
marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Sampe Rambe sekarang
ini memakai marga Purba
3.Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara
(Utamanya Sipiongot dan Gunungtua sekitarnya) Kahanggi yang bermukim di
sana, membawa marga rambe dari Pakkat, tetap memakai Rambe sampai sekarang
Setelah anak-anaknya dewasa, ketiganya mengambil istri putrinya
raja Pardosi, borunya Raja Tuktung
(cerita ini saya perpendek, mengambil pokok-pokok yang di bicarakan di facebook mudah-mudahan satu saat saya bisa menulis sejaranhnya di blog lobu tondang sedetail mungkin) Kalau yang bernama asli Baginda So Juangon adalah generasi ke 5 dari Tuan Sumerham adalah dari si Rambe Anak Raja. dua bersaudara, adeknya bernama Guru So Juangon tinggal di Pakkat Hauagong. (ini saya dapat kemudian setelah orang sudah memutuskan kalau Baginda So Juangon dari Si Rambe Raja Nalu) Baginda So Juangon dari si Anak Raja, menjadi dianggap mengacaukan tarombo/stambuk
I. Tarombo/Stambuk dari Pakkat.
Gnr.1. Tuan Sumerham/br. Siregar, mempunyai anak tiga dan satu putri yaitu:
Gnr. 2. 1. Rambe Toga Purba/Rumbi br. Pardosi (Tambok Rawang)
2. 2. Rambe Raja Nalu/Kirri br. Pardosi (Rura Parira)
2. 3. Rambe Anak Raja/Nanja br. Pardosi (Tolping)
Putri Tuan Sumerham yang bernama Surta Mulia br. Rambe, Menikah dengan marga Pasaribu, dan diberi mereka Pahuseang di Sirandorung, Negeri Rambe Pakkat.
Untuk mengetahui Sundutnya Tuan Sumerham, menurut versi Rambe Anak Raja, maka selanjutnya kita ambil dari Rambe Anak Raja
Gnr.2. Rambe Anak Raja/Nanja br. Pardosi mempunyai anak toga orang
Gnr.3. 1. Raja Perak Rambe Anak Raja (Lobu Hariburan)
3. 2. Raja Mole-ole Rambe Anak Raja (Sijarango-Siambaton)
3. 3. Tumpak Martahi Rambe Anak Raja (Huta Tonga)
Gnr.3. Raja Perak Rambe Anak Raja Mempunyai anak dua orang
Gnr.4. 1. Tunggul Di Juji Rambe Anak Raja (merantau ke Aceh) hingga sekarang
belum ada informasi tentang keturunannya.
4. 2. Raja Na Gurguron Rambe Anak Raja
Gnr.4. Raja Na Gurguron Rambe Anak Raja mempunyai anak dua orang yaitu;
Gnr.5. 1. Baginda So Juangon Rambe Anak Raja dalam stambuk/tarombo yang saya
dapatkan terdapat catatan, bahwa Baginda So Juangon pergi merantau
kearah Sidempuan
5. 2. Guru So Juangon Rambe Anak Raja
Dari Guru So Juangon, hingga generasi ke Sembilan, masing-masing hanya mempunyai satu orang keturunan.
Secara berurutan, Gnr. Ke-6 Oppu Sangga Mulana. Gnr. Ke-7, Amani Sangga Mulana, Gnr. Ke-8, Sangga Mulana, Gnr. Ke-9, Oppu Sigurdangon, mempunyai dua orang anak yaitu Gnr. Ke-10 1. Op. Sailan dan 2. Aman .
Catatan Penulis : ini merupakan penuangan dari yang sudah ditemukan semata. Kemungkinan akan berkembang sesuai dengan yang ditemukan kemudian. Sehingga bukan kebenaran mutlak, tetapi sudah dapat dijadikan acuan terhadap perkembangan kemudian.
Pendapat dan informasi ini, diperkuat oleh statmen seorang natua-tua kita dari Siranggason, Pakkat, pada bulan Desember 2009 yang lalu, menyatakan; “Opponta Baginda So Juangon, ima apala hahani Oppunta Guru So Juangon, na lao mangaranto, pinompar ni oppunta Si Anak Raja”. Nama ini juga persis sama dengan yang ada di daerah perantauan Selatan Sumut. Yang menjadi pertanyaan, Kalau Baginda So Juangon dari omppung kita Rambe Raja Nalu, kenapa merobah nama, sebab pada saat di Laksa, Pakkat kalau tidak salah bernama Satia Raja Rambe Raja Nalu. Kenapa berobah menjadi Baginda So Juangon?
II. Tarombo/Stambuk Baginda So Juangon (dari Selatan)
Gnr. 1. Tuan Sumerham/br. Siregar, punya anak tiga orang (tidak disebut dengan seorang Putri), Yaitu;
Gnr. 2. 1. Rambe Raja Purba
2. Rambe Raja Nalu
3. Rambe Anak Raja
Diambil dari Rambe Anak Raja, mempunyai tiga orang anak, yaitu;
Gnr. 3. 1. Raja Perak Rambe
2. Raja Mole-ole Rambe
3. Tumpak Martahi Rambe
Diambil dari Raja Perak Rambe, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 4. 1. Tunggul Di Juji Rambe
2. Raja Na Gurguron Rambe
Diambil dari Raja Na Gurguron, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 5. 1. Baginda Raja So Juangon Rambe (di Aek Pisang)
2. Guru So Juangon Rambe (di Pakkat)
Diambil dari Baginda Raja So Juangon Rambe, mempunyai emapat orang anak yaitu;
Gnr. 6. 1. Namora Dibatu Nabolon Rambe (haruaran ni raja-raja Tano Holbung)
2. Namora Tabo Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Huta Somat) Sipiongot
3. Namora di Gurguron Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Simundol)
4. Guru Muloha Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Aek Suhat)
Yang memberikan Tarombo ini mengambil generasi/sundut berikutnya dari
Namora Dibatu Nabolon, mempunyai satu orang anak yaitu;
Gnr. 7. 1. Jalaga Rambe mempunyai empat orang anak yaitu;
Gnr. 8. 1. Japanggulmaan Rambe.
2. Badu Soman Rambe.
3. Simundol Rambe.
4. Jaonan Rambe.
Dari generasi/sundut ke-8 ini, diambil dari Japanggulmaan dan Jaonan
Rambe. Japanggulmaan mempunyai 5 orang anak, yaitu;
Gnr. 9. 1. Jatanduk Rambe.
2. Jahulembang Rambe (Aek Tangga).
3. Akal Rambe.
4. Jalius Rambe.
5. Alias Rambe.
Anak dari Jaonan Rambe ada 5 orang yaitu;
Gnr. 9. 1. Jahobuk Rambe.
2. Mulia Rambe.
3. Jarupat Rambe.
4. Japanggulapak Rambe.
5. Adil Rambe.
Untuk generasi/sundut ke-10, diambil dari generasinya Japanggulmaan
Yaitu; Jatanduk Rambe, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 10.1. Rokkaya Inganan Rambe.
2. Jatumbasan Rambe. (sungai Pining)
Jahulembang Rambe mempunyai 5 orang anak yaitu;
Gnr. 10.1. Jamanahan Rambe (Sungai Pining).
2. Cair Muda Rambe (Sungai Pining).
3. Jamarmasuk Rambe (Sipotang Ari).
4. Marasia Rambe (Bondar Sito).
5. Jasayas Rambe (Bonandolok).
Anak dari Jalius Rambe (sungai Pining), dua orang yaitu;
Gnr. 10.1. Markus Rambe (sungai Pining)
2. Japarnantian Rambe (Sungai Mangambat)
Anak dari Alias Rambe satu orang yaitu;
Gnr. 10.1. Raja Ona Rambe. Dst.
Catatan Penulis: Tarombo ini dituangkan dari tarombo yang saya simpan. Semata-mata bukan yang paling benar, tetapi pling tidak menjadi acuan, atau bandingan terahadap temuan kemudian. Kalau ada perbedaan dengan tarombo yang menjelaskan tentang Baginda So Juangon, tentu ini menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran bagi Marga Rambe bukan untuk mengacaukan garis keturunan kahanggi.
nama itu Glr. Baginda So Juangon adalah hal yang lumrah mengambil nama
oppungnya sama-sama Rambe. Sebab Satia Raja adala Generasi ke-7 dari
Tuan Sumerham. Informasi lain yang perlu dipertimbangkan bahwa saya
mendapatkan tarombo dari selatan di Jakarta, juga sama dengan dokumen
yang saya simpan. Dan tarombo itu menurut yang punya sudah turun
temeurun sampai ke dia.
Lalu yang menjadi patokan para orang tua yang disosialisasikan ke generasi sekarang adalah bahwa Baginda So Juangon berasal dari Si Rambe Raja Nalu. Tetapi informasi dari generasi muda Rambe melalui jejaring social, ada yang mengatakan generasi ke-5 dari Tuan Sumerham, dan ada yang mengatakan generasi ke-7. Tentu informasi ini dari para orang tua Rambe juga. Mungkin juga orang tua mereka. Saya sendiri sudah menelusurianya, dari catatan yang ada atau pernyataan yang bersangkutan, diakui sama-sama Baginda So Juangon walau dalam pengetahuan mereka berbeda generasi. Kalau dikatakan Baginda So Juangon generasi ke-5, maka beliau dari Rambe Anak Raja dan yang mengatakan itu adalah Rambe keturunan Anak Raja. Kalau dikatakan Baginda So Juangon itu adalah generasi ke-7 maka yang mengatakan itu adalah Rambe keturunan dari Raja Nalu. Dan hasil penelusuran tersebut diiakan oleh salah seorang mereka dari satu oppung, bahwa Keturunan dari Rambe Raja Nalu yang “menyusul” ke Sipiongot, adalah bernama Satia Raja Rambe Raja Nalu yang meninggalkan seorang istri boru Pane dan seorang putra di Laksa, Pakkat. dan Satia Raja sendiri generasi ke 7 dari Tuan Sumerham.
(Catatan : Kata menyusul di sini adalah adanya saudara yang sudah lebih dahulu tinggal di sana lalu kemudian di ikuti yang lain kemudian dalam satu marga)
yang menjadi pertanyaan kenapa menjadi Baginda So Juangon? atau mungkin glr. Baginda So Juangon ? Kenapa tidak tetap memakai nama Satia Raja. (lanjutan cerita ini akan menyangkut Rambey yang mengaku Lubis nanti akan disambung dalam tulisan tersendiri sesuai versi Rambe).
oleh Beresman Rambe
(Op. ni si Jonathan So Tarjua Ro Berkat)
Negeri Rambe
Tano Rambe atau Tanah Rambe didirikan oleh Alang Pardosi, bermarga Pohan,
dari Balige sebagai bagian dari tanah Baru yang dibukannya di bagian
Barat arah Pesisir Sumatera Utara. Raja Alang Pardosi membuka kawasan
tersebut setelah memutuskan untuk hijrah dari Balige akibat friksi
keluarga.
Salah satu anaknya kemudian diketahui membuka
wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Lobu Tua. Sebuah bandar yang
dihuni oleh kebanyakan saudagar asing khususnya dari Tamil , India .
Rambe sendiri diyakini berasal dari sebuah
buah tumbuhan yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Buah Rambe
tersebut dimakan oleh istri seorang pendatang dari Dolok Sanggul yang
telah lama belum mempunyai anak. Ajaibnya, setelah mengkonsumsi buah
tersebut ternyata memebri kesuburan baginya sehingga pendatang tersebut
memutuskan untuk menetap di wilayah tersebut dan menamakannya menjadi
Tanah Rambe.
Keberadaan mereka yang sebelumnya tidak
disadari oleh pengusa setempat, Raja Alang Pardosi, akhirnya berakhir
saat Raja Alang Pardosi mewajibkan beberapa ketentuan pajak ‘adat’
kepada yang bersangkutan.
Pendatang tersebuta yang bernama Si Namora dari marga Simamora
akhirnya harus patuh dengan ketentuan tersebut bila mana dia masih
berkeinginan untuk menetap di tempat tersebut. Beberapa lama berselang,
saat daerah tersebut berkembang menjadi pemukiman yang ramai dan banyak
dikunjungi orang, terjadilah friksi antara keluarga pendatanag Si Namora
dengan anak-anaknya, di antaranya bernama Si Purba dengan keluarga penguasa, yakni Alang Pardosi.
Takdir kemudian mengharuskan kedua keluarga
ini untuk bersatu saat putera-putera Si Namora menikah dengan
putri-putri Raja Alang Pardosi. Ternyata hal tersebut tidak dapat
menahan gelombang realitas kehidupan antara keduanya, sehingga
beberapa kali Si Purba yang sekarang masuk dalam lingkaran penguasa di
daerah tersebut, mengkudeta sang mertua dan bahkan mengusirnya dari
kursi kerajaan. Namun beberapa kali pula Raja Alang Pardosi dapat
memulihkan kekuasaannya.
Kapan berdirinya Tanah Rambe
Sulit untuk memprediksi tahun berdirinya
Tanah Rambe tersebut. Namun bila kita mengambil sebuah perbandingan
bahwa Barus didirikan oleh keturunan anak Raja Alang Pardosi melalui Guru
Marsakkot, dan Barus telah eksis dan terdengar namanya sebelum abad
ke-2 M saat Ptolemeus dari Mesir berkunjung untuk urusan dagang maka
Tanah Rambe mungkin saja telah eksis sebelum tahun-tahun Masehi.
Selain bukti kuat dari dokumentasi perjalanan
Ptolemeus tersebut di Tanah Rambe masih terdapat beberapa situs-situs
kuno, yang nampaknya belum pernah dieksplorasi, seperti situs Istana Raja Alang Pardosi di Gotting, Tukka.
Juga terdapat perkuburan kuno dan patung-patung yang terbuat dari batu
dari zaman megalitikum yang sudah tidak dimengerti oleh penduduk
setempat mengapa dan apa makna patung tersebut, dan sayangnya,
terbengkalai dan menjadi sasaran incaran para bandit-bandit kolektor
yang akan menjualnya ke toke-toke Cina di Medan.
Bandit-bandit tersebut sejak tahun 1995,
dengan menggunakan tangan penduduk setempat, berkeliaran di
tempat-tempat bersejarah dan mencurinya tanpa sepengatahuan penduduk,
yang saban tahun sering menjadikannya sebagai taman wisata tradisional,
atau setidaknya tanpa sepengetahuan si pemilik tanah.
Pencurian itu diyakini melanda ratusan
patung-patung megalitikum yang diyakini penduduk masih menyimpan
kekuatan gaib. Tahun 2005, sebuah pencurian patung megalitikum dari
sebuah situs berhasil digagalkan penduduk, namun sayang patungnya
berhasil dibawa kabur dan dijual dengan harga ratusan juta rupiah.
Untuk sekedar informasi, pencurian
patung-patung bernilai tinggi dari zaman kuno, bukan saja melanda Tanah
Rambe tapi juga di Dairi. Namun, usaha pencurian di Dairi berhasil
dihentikan setelah sebuah harian daerah memberitakan tertangkapnya
beberapa orang Siantar yang berkeliaran di Dairi memburu patung-patung
yang dijual ke Eropa dengan harga 150-an juta perbuah.
Persimpangan Peradaban
Tanah Rambe sejak berdirinya merupakan daerah
yang bersifat urban karena letak geografisnya yang berda dalam
persimpangan jalan tradisional. Satu arah jalan menuju ke Toba, satu
lagi ke Singkil dan yang terakhir ke Barus.
Di Gotting, Tukka, tempat istana Raja Alang Pardosi mendirikan istananya, merupakan persimpangan dua aliran air yang akhirnya membentuk dua sungai yaitu Aek Sisira yang mengarah ke Singkil dan yang satu lagi bernama Aek Sirahar mengarah ke Barus.
Dengan mengikuti aliran singai-sungai tersebut para saudagar dari Toba
dan Dairi serta sebaliknya dapat menjual produksi pertanian ke daerah
pesisir yang menjadi pusat perekonomian regional yakni Singkil dan Barus.
Dairi sebagai pusat produksi kemenyan dan
kapur merupakan daerah kaya yang selalu membutuhkan Tanah Rambe sebagai
persinggahan. Orang-orang Barus juga sangat membutuhkan Tanah Rambe
sebagai persinggahan menuju Toba yang menjadi pusat leluhur mereka.
Bahkan diyakini Tanah Rambe dengan nama Pakkat juga menjadi tempat persinggahan bagi pembeli-pembeli logam mulia, emas dari pusat tambangnya di Dolok Pinapan sejak dahulu kala.
Maka wajarlah bila masayarakat Rambe sangat
plural dan berpikiran terbuka dengan pengaruh dan perubahan zaman.
Setiap individu masyarakat di tempat ini bahkan menguasai dua bahasa
sekaligus yang jarang terjadi di Tanah Batak, yakni bahasa Batak Toba dan Dairi. Bahkan menurut cerita, para orang-orang tua setempat juga dapat berbahasa Melayu Pesisir, Karo dan Singkil.
Akibat lain dari letak yang strategis ini
adalah, karakteristik majemuk yang selalu dimiliki oleh masyarakat
khususnya dalam hal adat. Dengan terdapatnya berbagai jenis masyarakat
maka adat yang dipakai sering kali menjadi campuran dari adat-adat yang
baku, seperti Dairi, Aceh Singkil, Toba dan juga Barus yang telah banyak
dipengaruhi oleh adat Minang.
Pluralisme adat tersebut melahirnya sebuah
bentuk masyarakat yang sangat terbuka dengan kebudayaan dan peradaban
asing. Salah satu buktinya adalah perkuburan Cina kuno yang masih terdapat di Panigoran, sebuah pusat pemakaman setempat, di mana kuburan orang-orang Cina menyatu dengan kuburan orang-orang setempat.
Walau orang-orang Cina sudah tidak ada lagi
di tempat ini baik itu karena banyak dari mereka telah pindah ke
kota-kota lain di Indonesia yang kaya maupun karena orang-orang Cina
tersebut telah hilang akibat berasimilasi dengan penduduk dengan memakai
marga dan telah lupa dengan bahasa nenek moyangnya, namun kemajemukan
tersebut masih terasa sampai sekarang.
Tanah Rambe sendiri, walau dibuka pertama
sekali oleh marga Pohan (atau Pardosi) sekarang kebanyakan dihuni oleh
marga Purba dan Simamora, karena paska perdamaian dengan Raja Alang
Pardosi, Raja Purba diijinkan menetap di Tanah Rambe karena mempunyai
istri boru Pardosi Pohan. Orang-orang Pardosi, sebagai pembuka tanah
masih terdapat di Tanah Rambe dengan jumlah yang sedikit.
Di wilayah sekitar Tanah Rambe terdapat beberapa huta yang dihuni oleh marga-marga yang berbeda seperti Siniang-Laksa oleh marga Marbun, Huta Ambasang oleh marga Manalu dan lain sebagainya.
Tanah Rambe-Sebuah Situs Yang Belum Terjamah
Yang paling mengherankan dari Tanah Rambe ini
adalah kekunoannya yang belum banyak terjamah oleh pakar-pakar arkeolog
Indonesia . Padahal dengan kekayaan sejarah dan letaknya yang strategis
dapat dipastikan bahwa di bawah perut bumi Tanah Rambe tersimpan
benda-benda arkeologi yang sangat berharga. Dalam penelusuran penulis,
banyak benda-benda pusaka yang dimiliki oleh masyarakat yang berasal
dari nenek moyang masing-masing yang berbentuk ‘sangat aneh’ untuk ukuran setempat.
Misalnya anting-anting kuno,
perhiasan-perhiasan yang bentuknya sangat artistik dan bentuknya aneh,
pedang, pustaha laklak yang nampaknya tidak terurus oleh genarasi
sekarang yang tidak berminat. Selain patung-patung megalitikum yang
terbiarkan dan tak terurus karena penduduk tidak tahu siapa yang
membangun dan apa fungsinya, di Tanah Rambe juga terdapat hunian-hunian
lama atau huta-huta kuno yang sudah tidak berpenduduk lagi.
Sesekali, apabila petani mencoba menanaminya
sering sekali menemukan benda-benda aneh yang sering kali menimbulkan
kecurigaan mengenai keangkeran tempat tersebut. Padahal mungkin saja
benda yang ditemukannya tersebut adalah benda arkeologi yang sangat
mahal dan tempat tersebut merupakan hunian kuno orang-orang lama.
Karena letaknya yang strategis dan tempat
persinggahan para pengelana, sudah barang tentu di sekitar jalan-jalan
menuju tanah Rambe, sering sekali ditemukan benda-benda dalam bentuk
batu dan logam yang diduga sebagai tempat persinggahan para pengelana
dari kelelahan.
Argumentasi lainnya yang mendukung fakta-fakta kekayaan sejarah tersebut adalah terdapatnya seorang
tokoh sejarah di Tukka yang sangat berpengaruh dalam sejarah peradaban
Batak secara keseluruhan. Di antaranya adalah Raja Tuktung Pardosi, cucu
dari Raja Alang Pardosi.
Kemasyhuran Raja Tuktung, seperti yang dicatat di “Hikayat Raja Tuktung”
itu diyakini sebagai cerminan dari tingginya peradaban Batak di
zamannya yang sudah barang tentu meninggalkan jejak-jejak sejarah yang
mengagumkan. Setinggi apakah dan secanggih apakah kebudayaan saat itu
belum pernah digali oleh para penikmat-penikmat sejarah Indonesia yang
sangat kaya itu.
SEJARAH MARGA RAMBE
SEJARAH TUAN SUMERHAM DAN RAMBE
Dimulai dari Toga Sumba, mempunyai anak dua orang yaitu Toga Simamora
dan Toga Sihombing. Toga Simamora memperistri putrid dari kel luarga
Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja
Lottung, Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan
putri dari keluarga Saribu Raja*, bernama Tuan Sumerham, dan seorang
putri yang buta.
*Catatan:
1. selama in i telah terjadi kekeliruan dalam menyebutkan Marga istri I oga Simamora dengan menyebutkan boru Saribu Raja, hal itu beberapa ali dialami oleh marga Rambe, untuk mencari Hula-Hula Saribu Raja. Sedangkan marga keturunan Sariburaja sekarang ini adalah yang masuk dalam group Borbor.
2. Sejarah Silsilah Marbun, mengatakan “……..laos dibaen ma nasida nasapariban i marhombar balok………..” berdasarkan pernyataan ini, kalau kita lihat di Tano Tipang Bakkara, harajaon Toga Simamora berbatasan dengan harajaon Marbun.
3. Dalam sejaranh silsilah Marbun,Toga Marbun merupakan pomparan Toga Nai Pospos kakak adek dengan Tuga Sumba. Istri Toga Marbun dalam sejarah tersebut, adalah boru Pasaribu.
Berdasarkan refrensi tersebut diatas, maka Istri pertama Toga Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga Sihombing mempunyai istri boru Lottung ( Lottung, delapan bersaudara, tujuh marga, satu perempuan) Dari boru Lottung lahir empat orang anak. yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan.
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
Kemudian Toga Simamora, turun ranjang (Mangabia, manhappi) mengawini istri dari Toga Sihombing, (apakah karena meninggal di kedua belah pihak, tidak jelas dalam sejarahnya) lahir tiga orang anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini merupakan satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya, tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain. Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita, boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita, boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam hari, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,
1. Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedangdisembunyikan di Bonggar-bonggar.
2. Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
3. Pustaha (buku lak-lak).
4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasasilambuyak).
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka datang”
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn boru kita tertinggal di sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat. Maka tempat itu dinamakan Sibuluan)
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar) di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul di di areal mereka tinggal, Oppung boru bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di lading yang merka cangkul, lalu merak rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi. Penulis masih semapat memakan nasinya disebut padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampung Pakkat, padi si Rambe. Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah.
Ternyata buah rambe ini mungkin mempunyai khasiat** untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putrid bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.
** beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murn, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe, ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan adanya parumaen Rambe yang serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan. Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe, hampir tidak kebagian dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji rambe yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis. Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi
Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Oppung kita Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap pertama panen setiap musing lebih dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham.
Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Lepas dari Upeti
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalyu Tuan Sumerham meberi balankon/mahkota/bulang-bulang rusa di kepala dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Dan bekas jejaknya dia rapikan kembali, sehingga kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat)
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apagerangan yang akan terjadi kelak dengan tanda rusa yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang Raja. Itu sebabnya saya dating,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan berkata; “,,,,,,,,, di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama Nanja br Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi. Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat. Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut. Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, memngingat kepindahanya ke Lobu Tondang karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan.
*Catatan:
1. selama in i telah terjadi kekeliruan dalam menyebutkan Marga istri I oga Simamora dengan menyebutkan boru Saribu Raja, hal itu beberapa ali dialami oleh marga Rambe, untuk mencari Hula-Hula Saribu Raja. Sedangkan marga keturunan Sariburaja sekarang ini adalah yang masuk dalam group Borbor.
2. Sejarah Silsilah Marbun, mengatakan “……..laos dibaen ma nasida nasapariban i marhombar balok………..” berdasarkan pernyataan ini, kalau kita lihat di Tano Tipang Bakkara, harajaon Toga Simamora berbatasan dengan harajaon Marbun.
3. Dalam sejaranh silsilah Marbun,Toga Marbun merupakan pomparan Toga Nai Pospos kakak adek dengan Tuga Sumba. Istri Toga Marbun dalam sejarah tersebut, adalah boru Pasaribu.
Berdasarkan refrensi tersebut diatas, maka Istri pertama Toga Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga Sihombing mempunyai istri boru Lottung ( Lottung, delapan bersaudara, tujuh marga, satu perempuan) Dari boru Lottung lahir empat orang anak. yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan.
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
Kemudian Toga Simamora, turun ranjang (Mangabia, manhappi) mengawini istri dari Toga Sihombing, (apakah karena meninggal di kedua belah pihak, tidak jelas dalam sejarahnya) lahir tiga orang anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini merupakan satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya, tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain. Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita, boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita, boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam hari, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,
1. Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedangdisembunyikan di Bonggar-bonggar.
2. Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
3. Pustaha (buku lak-lak).
4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasasilambuyak).
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka datang”
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn boru kita tertinggal di sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat. Maka tempat itu dinamakan Sibuluan)
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar) di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul di di areal mereka tinggal, Oppung boru bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di lading yang merka cangkul, lalu merak rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi. Penulis masih semapat memakan nasinya disebut padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampung Pakkat, padi si Rambe. Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah.
Ternyata buah rambe ini mungkin mempunyai khasiat** untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putrid bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.
** beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murn, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe, ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan adanya parumaen Rambe yang serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan. Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe, hampir tidak kebagian dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji rambe yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis. Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi
Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Oppung kita Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap pertama panen setiap musing lebih dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham.
Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Lepas dari Upeti
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalyu Tuan Sumerham meberi balankon/mahkota/bulang-bulang rusa di kepala dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Dan bekas jejaknya dia rapikan kembali, sehingga kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat)
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apagerangan yang akan terjadi kelak dengan tanda rusa yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang Raja. Itu sebabnya saya dating,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan berkata; “,,,,,,,,, di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama Nanja br Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi. Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat. Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut. Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, memngingat kepindahanya ke Lobu Tondang karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan.
- Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan.
- Sesampainya mereka di sana, mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/dibunuh. (demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk kampung, ditangkap dan lalu dibunuh)
- Pada saat di pasung, mereka harus melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau tidak menayakan mereka anak siap.
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau tidak menayakan mereka anak siap.
- Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So Hadungdungan
- Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon.
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran,
maka berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan
serta menjawab pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab
apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kea rah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan menagis, terus menerus (diandunghon), Pada tengah malam, Namborunya mendengar andung mereka semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu Namborunya angkat bicara. “,,,,,,,,,,, Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun stop rapat dan memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Merka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalah hatinya. Lalu mereka ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang untuk mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang. Bagi Raja Tuktung, adalah suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan pun sudah berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja. Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung mempersiapkan Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan persiapan yang sudah sangat matang, semua siap pada posisi masingmasing sebagai pengamanan detik-detik perkawingan putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul 10.00) undangan Tuan Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang tempat pesta, dengan membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat itu ada usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham. Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah, yaitu Toga Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan.
Kode perang tersebut langsung disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara (Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak kesampaian. Maka mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan, kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga Rambe sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan, pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi; Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi. Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan Sumerham, masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri Raja yang berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama istri masing-masing. Tuan Sumerham memaparkan nuansa pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat dikatakan relative sempit. Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ktiga anakdan parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas, sebagai kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian mau menuruti apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita-cita ayah,,,,,” jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian, setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja (besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tuktung layaknya “marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat, setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka sebagai keluarga.
**)“marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara ini erat kaitannya dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hukumadat perkawinan
Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa pada perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing, sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya, ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama-lama di rumahnya atau kampungnya. Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka dari pada berlama-lama, akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya kenapa mereka belum berencana pulang ke suami masing-masing? Mereka bertiga diam tidak menjawab. ,,,,,”apakah kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Merka tetap diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal tuduhan/kekhawatiran Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,?
Mereka bertiga tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja. Setelah sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri seolah membuat lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami, berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang) Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotti kearah Tukka Barus, Parajaran (dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum Aek Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare, lalu kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut Sijarango berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah pegunungan Sapparungan, Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah Gunung Pinapan, Batu papan, gn Tua Jagapayung Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang sangat luas menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya sebagai strategi penguasaan Teritorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya. Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke Sipionot yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga Rambe dan hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe. Generasi ke 8 anak dari yang menjadi Baginda So Juangon, juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan dengan datangnya Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di Negeri Rambe, Pakkat
Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1. Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op. Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis “Aman Sampe Rambe marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe sekarang ini memakai marga Purba
3. Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara (UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana dan bermarga Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Sejak Kapan marga Rambe menjadi Purba Manalu Debataraja?
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kea rah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan menagis, terus menerus (diandunghon), Pada tengah malam, Namborunya mendengar andung mereka semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu Namborunya angkat bicara. “,,,,,,,,,,, Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun stop rapat dan memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Merka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalah hatinya. Lalu mereka ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang untuk mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang. Bagi Raja Tuktung, adalah suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan pun sudah berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja. Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung mempersiapkan Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan persiapan yang sudah sangat matang, semua siap pada posisi masingmasing sebagai pengamanan detik-detik perkawingan putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul 10.00) undangan Tuan Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang tempat pesta, dengan membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat itu ada usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham. Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah, yaitu Toga Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan.
Kode perang tersebut langsung disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara (Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak kesampaian. Maka mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan, kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga Rambe sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan, pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi; Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi. Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan Sumerham, masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri Raja yang berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama istri masing-masing. Tuan Sumerham memaparkan nuansa pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat dikatakan relative sempit. Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ktiga anakdan parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas, sebagai kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian mau menuruti apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita-cita ayah,,,,,” jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian, setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja (besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tuktung layaknya “marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat, setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka sebagai keluarga.
**)“marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara ini erat kaitannya dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hukumadat perkawinan
Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa pada perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing, sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya, ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama-lama di rumahnya atau kampungnya. Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka dari pada berlama-lama, akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya kenapa mereka belum berencana pulang ke suami masing-masing? Mereka bertiga diam tidak menjawab. ,,,,,”apakah kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Merka tetap diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal tuduhan/kekhawatiran Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,?
Mereka bertiga tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja. Setelah sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri seolah membuat lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami, berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang) Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotti kearah Tukka Barus, Parajaran (dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum Aek Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare, lalu kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut Sijarango berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah pegunungan Sapparungan, Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah Gunung Pinapan, Batu papan, gn Tua Jagapayung Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang sangat luas menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya sebagai strategi penguasaan Teritorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya. Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke Sipionot yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga Rambe dan hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe. Generasi ke 8 anak dari yang menjadi Baginda So Juangon, juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan dengan datangnya Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di Negeri Rambe, Pakkat
Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1. Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op. Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis “Aman Sampe Rambe marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe sekarang ini memakai marga Purba
3. Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara (UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana dan bermarga Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Sejak Kapan marga Rambe menjadi Purba Manalu Debataraja?
Probelamtika Civil Society Di Rohul, Butuh Kordinasi Konstruktif, LSM Harus Punya Kompas Ideologi
Catatan E. Rambe, S.Sos
Direktur Eksekutif TOPAN-RI
LSM dalam konteks universal diartikan sebagai sebuah organisasi,
didirikan perorangan ataupun sekelompok orang secara sukarela memberikan
pelayanan pada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari kegiatannya.
Konsep civil society karakteristik LSM bercirikan, mandiri
dan tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah dipandang dapat
memainkan peran penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi
melalui perannya dalam pemberdayaan civil society dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran, civil society, di Kabupaten Rokan Hulu sangat jauh dari prinsip kemandirian.
Independensi masyarakat terhadap pemerintah, merupakan prinsip utama dalam membangun civil society tidak
terlihat, dominasi pemerintah terlihat jelas dalam perumusan kebijakan,
sementara dalam implementasi kebijakan banyak terjadi manipulasi, dapat
merugikan masyarakat.
Kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaikinya agarc tercipta civil society,
kuat dan mandiri, melalui peran-peran pemberdayaan masyarakat, advokasi
public dan pengawasan kebijakan pemerintahan daerah, seharusnya
eksistensi dan peran LSM di Kabupaten Rokan Hulu telah memberikan warna
dalam upaya-upaya memperkuat civil society.
Namun tak semua LSM berperan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai pilar hadirnya civil society. Beberapa
LSM justru melakukan tindakan-tindakan menyimpang dari fungsinya.
Hasil pantauan distorsi peran LSM di Kabupaten Rokan Hulu terjadi karena
beberapa faktor yaitu: adanya motif mencari keuntungan, ketiadaan
sumber dana dan rendahnya profesionalisme, latar belakang profesi
aktivis beraneka ragam, konsep ideloginya tidak jelas serta regulasinya
terlalu longgar. karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengembalikan
kembali peran LSM sebagai pilar civil society dilakukan melalui reposisi internal dan eksternal.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan nama lain Non Government Organization (NGO) atau
organisasi non pemerintah (Ornop) dewasa ini keberadaanya sangat
mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih
dari 10.000 LSM beroperasi di Indonesia baik ditingkat nasional,
propinsi maupun di tingkat kabupaten dan kota, dimana dari tahun ketahun
jumlah ini semakin bertambah.
Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan
teknologi informasi merupakan factor-faktor pendorong terus bertambahnya
jumlah LSM di Indonesia. Bergulirnya era reformasi menggantikan era
orde baru dikuti pula dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun
1997 ditaksir ada sekitar 4000-7000 LSM, maka pada tahun 2002 jumlah LSM
menurut Departemen Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM. Iklim
segar dibawa angin reformasi menciptakan keleluasaan luas dalam
upaya-upaya penyaluran aspirasi.
Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan
berkumpul dijamin penuh undang-undang. Dominasi pemerintah pada masa
orde baru dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol,
bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol masyarakat
melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial dengan
dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis
tuntutan-tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap
masyarakat dan di lain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
segala aspek kehidupan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya
dan bidang-bidang lainnya.
Ruang politik semakin terbuka lebar pada era reformasi, seiring
dengan diberikannya kebebasan luas memberikan kesempatan pada
kelompok-kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai bentuk
organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai asas
dan tujuan masing-masing.
Tidak ada lagi hegemoni ideologi dijalankan lewat berbagai
undang-undang mendudukan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
setiap organisasi seperti pada masa orde baru menyebabkan aktifitas LSM
dan organisasi sosial politik lainnya berada dalam ruang sempit.
Partai-partai politik dengan latar belakang berbagai ideologi
bermunculan, dengan dimulainya era kebebasan ini. Organisasi-organisasi
sosial politik termasuk LSM tumbuh dengan subur. LSM secara umum
diartikan sebagai sebuah organisasi didirikan perorangan ataupun
sekelompok orang secara sukarela memberikan pelayanan pada masyarakat
umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
LSM merupakan lembaga/organisasi non partisan berbasis pada gerakan moral (moral force)
memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
politik. LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses
demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan
karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor
politik-pemerintah maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu tidak dapat dilaksanakan organisasi pada dua sektor tersebut.
Berbeda dengan organisasi politik, berorientasi kekuasaan dan
swasta berorientasi komersial, secara konsepsional LSM memiliki
karakteristik bercirikan: non partisan, tidak mencari keuntungan
ekonomi, bersifat sukarela dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri
ini menjadikan LSM dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi
ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi. Ciri-ciri LSM tersebut juga
membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi dan melayani kepentingan
masyarakat tidak begitu diperhatikan sector politik dan swasta.
Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran control
lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan
fungsi pengawasan di tengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat.
Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama bergerak
dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM bagaimana
mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers bebas, tuntutan kebebasan
berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan
kebijakan-kebijakan merugikanrakyat.
Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis memberikan
tekanan pada pemerintah. Pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola
hubungan konfliktual, dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan
mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM.
Namun dalam sistem politik demokratis, LSM dan pemerintah dapat
bersama-sama memberikan sumbangan penting dalam hal peningkatan hak-hak
rakyat. Perubahan dibawa era reformasi menyebabkan wajah kekuasaan
menjadi tidak se solid dulu, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
lebih besar untuk mengungkapkan pikiran dan tuntutannya.
Kehidupan politik lebih demokratis saat ini, membuat banyak LSM
mulai meninggalkan strategi konfrontatif dengan pemerintah dengan cara
berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah ketika peluang politik
tersedia. LSM saat ini tidak lagi memandang pemerintah setajam dulu,
meskipun demikian masih terdapatkesadaran luas di kalangan LSM
pemerintah tetap potensial menjadi pengekang rakyat.
LSM punyai peran sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society LSM dapat memainkan peran sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran.
Berbicara mengenai LSM sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari civil society, kuat dan mandiri. Sedangkan pemberdayaan civil society merupakan sine qua non bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Konsep mengenai civil society sendiri dapat diartikan sebagai suatu tatanan sosial atau masyarakat memiliki peradaban (civilization),
di dalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat bersifat sukarela dan
terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan sifatnya
independen terhadap negara. Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber
dari masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan
fasilitator.
Akses masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam civil society, individu
dapat melakukan partisipasi politik secara bebas. Warga Negara bebas
mengembangkan dirinya secara maksimal dan leluasa dalam segala aspek
kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
bidang-bidang lainnya.
Civil society memiliki empat komponen sebagai syarat; pertama Otonomi, kedua akses masyarakat terhadap lembaga Negara, ketiga arena publik bersifat otonom dan keempat arena publik terbuka bagi semua lapisan masyarakat.
Berdasarkan komponen-komponen tersebut, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan memiliki tingkat kemandirian.
Organisasi sosial dan politik memiliki tingkat kemandirian, LSM dan
media massa. LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak serta kebebasan
dan kemandirian cukup tinggi dapat dijadikan sumber daya politik
potensial dalam menyiapkan civil society. civil society sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat.
Kekuasaan Negara dibatasi dalam ruang publik partisipasi politik
masyarakat dalam rangka pembentukan kebijaksanaan public, konteks ini
LSM cukup potensial ikut menciptakan civil society karena dengan kemampuannya mampu mengisi ruang publik.
Kabupaten Rokan Hulu merupakan kabupaten memiliki banyak potensi di
Provinsi Riau, berdasarkan Undang-Undang Rrepublik Indonesia Nomor 11
Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan
Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam.
Termasuk landasan utama dalam kebersamaan untuk mewujudkan
pembangunan agar kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan, baik
secara ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik dan lainnya, kemudian
Kabupaten Rohul bergerak dengan cepat dan pasti membangun daerahnya
hingga kelak menjadi Kabupaten terbaik di Provinsi Riau.
Jika ditilik dari sejarah, jauh sebelum terbentuknya Kabupaten
Rokan Hulu, Desa Tandun, Desa Aliantan dan Desa Kabun sudah berada dalam
Kecamatan Tandun dalam wilayah Eks Kewedanaan Pasir Pangarayan wilayah
kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah I menjadi dasar wilayah pembentukan
Kabupaten Rokan Hulu.
Luas wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah I meliputi 7
Kecamatan, yaitu Kecamatan Tambusai, Kecamatan Rambah, Kecamatan Rambah
Samo, Kecamatan Kepenuhan, Kecamatan Tandun, Kecamatan Rokan IV Koto dan
Kecamatan Kunto Darussalam dengan luas wilayah keseluruhan 7.449,85 km2
dan jumlah penduduk sebanyak 268.291 jiwa Tahun 1998.
Di dalamnya termasuk wilayah dan penduduk Kecamatan Tandun dengan
Desa Tandun, Desa Aliantan dan Desa Kabun. Sesuai dengan data usulan
Gubernur Riau melalui surat Nomor 136/TP/1433 tanggal 15 Juni 1999
perihal Usulan Pemekaran Daerah Tingkat II di Provinsi Riau dengan surat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau tanggal 24
Juni 1999 Nomor 19/KPTS/Pimp/DPRD/1999 tentang Rekomendasi Dukungan
Terhadap Usulan Pemekaran Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II di
Provinsi Riau dan surat Bupati Kampar Nomor 180/HK/86/1999 tanggal 3
Juni 1999
Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, juga menjadi salah satu ciri dari civil society sangatlah
tidak memadai. Tapi peran penting civil socity diakomodir Pemkab Rokan
Hulu, sehingga dapat menjadi mitra baik dalam menentukan kebijakan
public, khsusunya di Rokan Hulu, pemerintah mencoba memfasilitasi
sehingga NGO dapat bergandengan tagan dengan semua pihak dengan tujuan
untuk membanguan dan menumbuh kembangkan ekonomi masyarakat Rokan Hulu.
Pemkab Rokan Hulu melalui Kakankesbang Linmas Ervan Ridho, sangat
bangga dengan keaneka ragaman, NGO di Kabupaten Rohul, sehingga itu
membuat ide dalam konsep pembangunan di Rohul lebih energik, sehingga ke
depan lebih professional, seyogyanya diadakan diskuis dengan mendatang
nara sumber dnilai cukup pakar dalam bidang sivil socity, agar
keilmuannya dapat diterapkan, sehingga antara NGO dengn Pemkab Rohul
dapat selaras mewujudkan visi dan pembangunan Rohul.
Selanjutnya Bupati Rohul Drs. H. Ahmad, MSi diminta tetap
memberikan dukungan terhadap NGO agar lebih profsional dalam
melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya sesuai ketentuan aturan dan
undang-undang, Harapan agar sama-sama dapat menghargai kultur di Rohul
nilai-nilai adat budaya sangat elegan, jika sama-sama di junjung tinggi,
seperti Rohul dikenal dengan filosofi negeri seribu suluk.
Semestinya Pemkab Rohul bangga dengan kehadiran NGO sehingga dapat
melakukan control, secara kompleks, sebab Kabupaten Rohul milik seluruh
masyarakat tanpa dukungan dari semua elemen mustahil pembangunan dapat
terrealisasi secara siknifikan, Bupati Rohul bisa mengajak NGO agar
dapat mendukung setiap job project dan program pembangunan sesuai dengan
program kerja LSM itu sendiri.
Dalam kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi, dalam rangka menciptakan civil society kuat dan mandiri dapat memilih sikap
Pertama sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power),
peranan ini tercermin pada upaya LSM mengontrol, mencegah, dan
membendung dominasi dan manipulasi pemerintah terhadap masyarakat.
Peranan ini umumnya dilakukan dengan advokasi kebijakan lewat lobi,
pernyataan politik, petisi dan aksi demonstrasi.
Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan
kemandirian kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan
kesadaran masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan
partisipasi, peranan ini umumnya dilakukan dengan cara pendidikan dan
latihan, pengorganisasian dan mobilisasi masyarakat.
Ketiga, sebagai lembaga perantara (intermediary institution),
dilakukan dengan mengupayakan adanya aksi, bersifat memediasi hubungan
antara masyarakat dengan pemerintah atau negara, antara masyarat dengan
LSM dan antar LSM sendiri dengan masyarakat, peranan ini umumnya
diwujudkan melalui cara lobi, koalisi, surat menyurat, pendampingan dan
kerjasama antar actor.
LSM umumnya membuat agenda-agenda diklaim merepresentasikan
masyarakat, namun ketika muncul godaan dari pembuat kebijakan mereka
dapat dengan mudah meninggalkan masyarakat, menyebutnya sebagai problem
keterputusan (disconnection) biasanya ditemukan dalam hubungan antara LSM dan masyarakat atau komunitas.
Berbagai problematika melibatkan LSM-LSM di Kabupaten Rohul ini
bisa saja memunculkan degradasi kepercayaan publik, karena sesungguhnya
banyak sekali tantangan harus dihadapi LSM baik internal maupun
eksternal, sisi internal misalnya inefesiensi manajemen, pertikaian
antar aktivis, transparansi dan sebagainya.
Selain itu masalah sumber dana merupakan tantangan utama harus
dihadapi LSM sudah terlihat ditingkat nasional, ada LSM memilih merubah
arah ideologis sesuai dengan penyandang dananya.
Profesionalisme LSM juga refleksi tentang hubungan NGO dengan pemerintah menggambarkan kondisi LSM carut-marut, sehingga diperlukan adanya evaluasi atas kinerja LSM.
Justru banyak LSM malah berperan memperlemah gerakan rakyat dan
melakukan kegiatan kontra-produktif. LSM seperti ini bukannya menjadi
tulang punggung civil society namun sebaliknya justeru semakin memperlemah.
Penyimpangan-penyimpangan perilaku LSM dan berbagai permasalahan
dihadapi LSM, menunjukan telah terjadi distorsi terhadap peran
seharusnya dijalankan LSM dalam pola relasinya dengan pemerintah dan
masyarakat. Cukup banyak LSM-LSM di Kabupaten Rohul dengan masing-masing
ideologi, ruang lingkup kegiatan dan peranannya berbeda-beda.
Beberapa LSM konsekuen dengan tujuan utama mereka, namun sebagian
lagi telah menyimpang dari konsep peran dan fungsi LSM, sehingga
diperlukan adanya upaya-upaya untuk memperkuat kembali peran LSM dalam
konteks civil society. Ini perlu pola relasi antara LSM dengan
pemerintah dan masyarakat serta penyebab terjadinya distorsi terhadap
peran, seharusnya dilaksanakan LSM di kabupaten Rohul dalam konteks civil society.
Apalagi umumnya Pimpinan Satuan Kerja Perngkat Daerah (SKPD),
dinilainya tidak paham tentang pernundang-undangan, khususnya mengatur
mengenai peran serta masyarakat, sebab tak jarang, jika NGO itu
mengutarakan pendapatan terhadap suatu kasus malah ada sebutan NGO atau
LSM, bukanlah polisi atau jaksa, memang bukan, tetapi mestinya adanya
singkronisasi atau korelasi.
Mislanya Undang-Undang No 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 Tentang keterbukaan Informasi
Publik.
Teken in op:
Plasings (Atom)